Rabu, 25 November 2015

Eksekusi Mati

Ada orang-orang (saya) yang kerap memutuskan sesuatu hanya berdasarkan perasaan. Sebagai seorang INFP (Introversion, Intuition, Feeling, Perception), hal tersebut adalah sifat yang sangat mendasar. Para INFP sangat sangat irasional dan mengutamakan perasaan dan kenyamanan mereka.


Seperti hari ini saat saya memutus eksekusi mati untuk diri saya sendiri. Kronologisnya, saya terjerumus dalam satu situasi yang sudah jauh hari saya prediksi bakal terjadi. Situasi yang tidak mengenakan dan mengakibatkan kegamangan berkepanjangan. Situasi yang membuat hati saya meronta-ronta tapi secara eksterior, saya harus bisa memberikan senyum terbaik kepada orang-orang di sekitar.

Baru beberapa bulan yang lalu saya kembali ke dunia perkantoran. Setelah lama “libur” dua tahun hanya menjadi freelance writer. Keputusan untuk kembali ngantor, bisa dibilang terjerumus. Terhasut oleh motivasi orang-orang sekitar agar saya berada di lingkungan baru (dalam artian kenalan baru). Saya yang sedang dalam kondisi kurang baik secara emosional dan psikis, produktivitas menulis sedang tipis, mengambil tawaran sebagai content writer sebuah media informasi. Lagi-lagi menekankan, keputusan itu merupakan sebuah pelarian masalah.

Media informasi ini baru lahir. Ah tidak, lebih tepatnya dipaksakan lahir. Prematur. Sudah prematur, dipaksa pula jadi dewasa. Maksudnya jadi mesin penghasil uang. Setiap hari yang dibahas hanya soal uang, sedangkan nilai sesungguhnya dari media itu sendiri tersisihkan. Kepuasan pembaca sama sekali tidak dipikirkan.

Dua minggu bekerja masih berusaha mengarahkan ke arah yang benar. Tapi tak satu pun ide atau masukan yang didengar. Empat minggu sudah mulai lelah terasa. Dua bulan, pesimis pencerahan akan datang. Tiga bulan, speechless. Saya lebih banyak menghabiskan waktu bergulat dengan batin sendiri.

Tidak memiliki visi sama dan kesulitan berkomunikasi dengan yang si mpunya media ini, ternyata membangkitkan semangat menulis lagi. Menulis sesuai apa yang saya mau, bukan permintaan pasar, semampu otak saya menjangkau. Kembali ke habit. Blogging, cerpen-ing, puis-ing. Tiga kegiatan itu justru yang menjadi obat jiwa. Maaf kawan, kakak, saran-saran kalian ternyata tidak cocok untuk saya.

Bung Candra pernah bertanya, lebih menghasilkan mana ketika saya jadi freelancer atau menulis di kantor? Saya jawab, dua-duanya menghasilkan. Tapi menulis di kantor lebih besar jumlahnya, selain itu juga penghasilannya tetap. Setiap bulan saya dapat. Lalu Bung Candra berpendapat, baguslah, meski tidak nyaman tapi ada hasilnya.

Pada akhirnya, hari ini, lagi-lagi, kesekian kalinya, saya memilih eksekuti mati. Ya, mungkin begitu bagi orang-orang realist. Saya memutuskan untuk berhenti kerja kantoran, tidak akan dulu cari kerja kantoran, melepaskan pendapatan (tetap) bulanan, dan kembali sebagai pribadi bebas yang gemar menulis, meski tulisan saya tidak (selalu) menghasilkan nominal. Lalu kedepannya bagaiamana? Saya juga tidak tahu. Setelah eksekusi mati mungkin hanya berharap bisa reinkarnasi.

Asketis, kata bung Candra. Pedahal tidak juga. Duit mah pasti dicari, tapi bukan yang hakiki, mumpung masih single and very happy (wae…). Satu sih yang pasti.

Kantor (jadi karyawan? terikat waktu?) bukan dunia saya. Entahlah, tapi selalu ada sesuatu yang mengusik kenyamanan ketika berkantor.

*pikiran yang immature*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar