Ada
orang-orang (saya) yang kerap memutuskan sesuatu hanya berdasarkan perasaan.
Sebagai seorang INFP (Introversion, Intuition, Feeling, Perception), hal
tersebut adalah sifat yang sangat mendasar. Para INFP sangat sangat irasional
dan mengutamakan perasaan dan kenyamanan mereka.
Seperti
hari ini saat saya memutus eksekusi mati untuk diri saya sendiri. Kronologisnya,
saya terjerumus dalam satu situasi yang sudah jauh hari saya prediksi bakal
terjadi. Situasi yang tidak mengenakan dan mengakibatkan kegamangan
berkepanjangan. Situasi yang membuat hati saya meronta-ronta tapi secara eksterior,
saya harus bisa memberikan senyum terbaik kepada orang-orang di sekitar.
Baru
beberapa bulan yang lalu saya kembali ke dunia perkantoran. Setelah lama “libur”
dua tahun hanya menjadi freelance writer. Keputusan untuk kembali ngantor, bisa
dibilang terjerumus. Terhasut oleh motivasi orang-orang sekitar agar saya berada
di lingkungan baru (dalam artian kenalan baru). Saya yang sedang dalam kondisi
kurang baik secara emosional dan psikis, produktivitas menulis sedang tipis, mengambil
tawaran sebagai content writer sebuah media informasi. Lagi-lagi menekankan,
keputusan itu merupakan sebuah pelarian masalah.
Media
informasi ini baru lahir. Ah tidak, lebih tepatnya dipaksakan lahir. Prematur.
Sudah prematur, dipaksa pula jadi dewasa. Maksudnya jadi mesin penghasil uang.
Setiap hari yang dibahas hanya soal uang, sedangkan nilai sesungguhnya dari
media itu sendiri tersisihkan. Kepuasan pembaca sama sekali tidak dipikirkan.
Dua minggu bekerja
masih berusaha mengarahkan ke arah yang benar. Tapi tak satu pun ide atau
masukan yang didengar. Empat minggu sudah mulai lelah terasa. Dua bulan,
pesimis pencerahan akan datang. Tiga bulan, speechless. Saya lebih banyak
menghabiskan waktu bergulat dengan batin sendiri.
Tidak
memiliki visi sama dan kesulitan berkomunikasi dengan yang si mpunya media ini,
ternyata membangkitkan semangat menulis lagi. Menulis sesuai apa yang saya mau,
bukan permintaan pasar, semampu otak saya menjangkau. Kembali ke habit. Blogging,
cerpen-ing, puis-ing. Tiga kegiatan itu justru yang menjadi obat jiwa. Maaf kawan,
kakak, saran-saran kalian ternyata tidak cocok untuk saya.
Bung Candra
pernah bertanya, lebih menghasilkan mana ketika saya jadi freelancer atau
menulis di kantor? Saya jawab, dua-duanya menghasilkan. Tapi menulis di kantor
lebih besar jumlahnya, selain itu juga penghasilannya tetap. Setiap bulan saya
dapat. Lalu Bung Candra berpendapat, baguslah, meski tidak nyaman tapi ada
hasilnya.
Pada akhirnya,
hari ini, lagi-lagi, kesekian kalinya, saya memilih eksekuti mati. Ya, mungkin begitu
bagi orang-orang realist. Saya memutuskan untuk berhenti kerja kantoran, tidak
akan dulu cari kerja kantoran, melepaskan pendapatan (tetap) bulanan, dan
kembali sebagai pribadi bebas yang gemar menulis, meski tulisan saya tidak (selalu)
menghasilkan nominal. Lalu kedepannya bagaiamana? Saya juga tidak tahu. Setelah eksekusi mati mungkin hanya berharap bisa reinkarnasi.
Asketis, kata bung Candra. Pedahal tidak juga. Duit mah pasti dicari, tapi bukan yang hakiki, mumpung masih single andvery happy (wae…). Satu sih yang pasti.
Asketis, kata bung Candra. Pedahal tidak juga. Duit mah pasti dicari, tapi bukan yang hakiki, mumpung masih single and
Kantor (jadi karyawan? terikat waktu?) bukan dunia saya. Entahlah, tapi selalu ada sesuatu yang mengusik kenyamanan ketika berkantor.
*pikiran yang immature*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar