Jumat, 04 Desember 2015

Secangkir Kopi Sebelum Mati

Aku terduduk di sudut ruangan kedai kopi ini. Kedai kopi kecil di pinggiran kota, pengunjungnya tak banyak. Hanya ada satu orang tua yang sedang menunggu minuman pesanannya datang. Bartender tengah sibuk membuatkannya, menggrinder kopi dan memanaskan air. Di sudut ruangan lainnya, ada seorang pemuda yang tengah sibuk dengan buku gambarnya. Mungkin dia pelukis.

Sedangkan aku, sedang menunggu seorang sahabatku datang. Kami biasa bertemu seminggu sekali di kedai kopi ini, membicarakan apa saja bertukar pikiran apa saja. Kami tidak mengharapkan sebuah jawaban dari diskusi kami selama ini, hanya butuh bicara dan didengarkan. Itu saja.

Aku baru saja menyalakan rokokku ketika seorang pemuda datang, memakai mantel coklat penahan hawa dingin di luar. Tubuhnya ramping, memakai celana panjang gelap dan sepatu hitam. Dia sahabatku. Sahabatku yang sudah bertahun-tahun mengenalku. Setiap fase kehidupan kami, kami saling tahu.

“Halo..” ucapnya padaku. Aku balas sapanya dengan anggukan. Tak lama setelah duduk ia langsung memesan cappuccino kegemarannya, tak banyak susu tak terlalu manis. Sedangkan aku masih asyik menyeruput kopi hitam tanpa gula. Pahit memang, tapi tak sepahit hidup.

 Wajah sahabatku tampak lain, dia seperti sumringah dan ceria. Matanya tak seperti biasanya, matanya penuh kata-kata yang ingin segera ia ucapkan padaku.

“Apalagi yang kau punya hari ini?” tanyaku.

Dia senyum padaku. Matanya berbinar memancarkan suka. Senyumnya merekah, tak lama tawanya merambah kesunyian kedai di sore itu.

“Sahabatku, tampaknya kau terlihat bahagia..ada apa yang terjadi? Apa roti-rotimu banyak laku terjual? Ah tampaknya bukan. Apa kau baru saja membaca buku humor khas sufi-sufi yang suka kau agung-agungkan itu? Ah, tampaknya bukan juga. Lalu apa?” aku menyeruput kopiku lagi, menyesap rokokku lagi.

“Hahaha. Aku tak sesenang ini jika itu yang kau anggap bisa membuatku gembira. Roti-rotiku sering terjual banyak, aku tak sesenang ini. Ya, aku senang jika rotiku terjual banyak, tapi tak lama, karena kegembiraanku tak lama kemudian habis, sibuk berpikir untuk mengatur uang-uangku. Hahaha. Jika kau pikir humor-humor sufi membuatku sesenang ini, itu pun tidak. Aku tak akan sesenang ini karena mendengar humor rumi atau al hallaj. Bagiku humor-humor itu bukan untuk tertawaan. Bukan untuk penghiburan, bagiku itu sebuah pertanyaan.” Dia berkata lugas, namun tetap tak bisa menyembunyikan senyum rahasia itu di wajahnya.

“Lalu apa? Apa kau kemari untuk membiacarakan usaha rotimu, atau ide-ide Rumi yang tak pernah kita mengerti? Aku hanya penasaran ada apa di balik senyummu yang tak biasa itu.”

“Senyumku tak biasa ya. Bisa jadi karena perasaanku yang tak biasa juga. Ya, wajah adalah cerminan hati. Bisa benar begitu, aku bukan psikopat yang hebat dalam urusan merubah wajah agar tak sesuai kata hati. Ya, aku sedang mengalami satu perasaan hebat yang tak kunjung reda. “

“Perasaan hebat? Ah, jangan-jangan kau sedang jatuh cinta..?”

“Apa lagi hal klise di dunia ini yang bisa membuatku tersenyum rahasia seperti yang kau bilang tadi. Apa lagi hal populer di dunia ini yang bisa membuat orang begitu terpikat untuk mengalaminya. Iya, aku jatuh cinta, sahabatku.”

“Hahahah. Cinta? Kau jatuh cinta. Ibuku pernah bilang padaku, jika kau berani-berani jatuh cinta, kau harus berani patah hati wahai sahabatku. Siapkah kau untuk itu? Perempuan mana yang kau cintai itu?”

“Memang benar kata ibumu. Tapi bukan berarti nasihat itu membuat aku menolak untuk jatuh cinta. Seperti yang kau lihat, jatuh cinta itu membuat aku seperti orang gila. Senyum-senyum seperti ini, ya bukan cinta namanya kalau tidak gila. Anggap saja ini kegilaan yang menyenangkan. Hahaha. Kata-kata ibumu memang benar. Cinta memang akan membawa patah hati. Segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan di dunia ini. Sebab akibat, hidup mati, baik buruk, begitu pun cinta. Ya, anggap saja dualisme yang menimbulkan harmoni.”

 “Aku tak menyalahkanmu untuk jatuh cinta, itu perasaanmu, itu yang akan kau alami sendiri. Saranku cuma satu, jangan kau terlalu mencintai seseorang jika tidak mau takdir cemburu.”
“Hahaha. Biarlah takdir yang menentukan, dia akan cemburu atau tidak. Kita akan mengetahuinya nanti..”

“Jadi siapa perempuan itu? Nyonya yang ditinggal mati suaminya langganan rotimu?”

“Bukan. Hahaha. Tentu saja bukan. Perempuan itu aku temui di pesta dansa kemarin. Wajahnya lugu, sepertinya beberapa tahun lebih muda dariku. Tentu saja ia cantik, menurut versiku. Matanya cantik menurut versiku, bibirnya cantik menurut versiku…”

“Stop. Jangan kau teruskan tentang relatifitas cantik itu. Lalu, apa yang terjadi ketika malam pesta dansa itu?”

“Aku mencium bibirnya.”

“hahaha. Kau berani mencium bibirnya pada saat pertama kali bertemu? Kau anggap itu cinta bukan birahi?”

“Sahabatku, cinta tanpa birahi sungguhlah sulit. Terkecuali untuk ibu, adik-adikku, saudara-saudara perempuanku yang dekat dengan keluargaku. Tentu saja cintaku padanya bukan termasuk cinta platonik yang terlepas dari unsur-unsur fisik seperti kata Plato. Aku pun sebenarnya tak mau mengotakkan cinta apa yang ku alami saat ini. Biarkanlah cinta ini mengikuti alurnya. Biarkanlah aku menikmati rasa ini.”

“Ya, biarlah. Tak ada yang melarang kau jatuh cinta. Lalu, perempuan mana yang kau cium di pesta dansa itu? Bukan perempuan mabuk kan?”

“Tentu saja bukan. Dia anak perempuan dari keluarga yang mengadakan pesta dansa itu. Anak perempuan satu-satunya di keluarga itu. Anak perempuan dari keluarga Capulet.”

“Apa?? Keluarga capulet. Kau menyelinap masuk di pesta dansa keluarga capulet? Benar-benar kau ini. Baru saja aku bilang tak ada yang melarang kau jatuh cinta. Berlakukah kata-kataku itu jika perempuan yang kau cintai adalah anak perempuan dari keluarga Capulet?”

“Bisa iya, bisa jadi tidak. Apakah dengan larangan aku akan mati dan tak bisa berbuat apa-apa? Sahabatku, aku benar-benar mencintainya. Aku tak peduli dari keluarga mana ia berasal, aku tak peduli dia Capulet. Aku tak peduli keluarganya adalah musuh bagi keluargaku. Aku tak peduli itu, jika aku mengatakan aku mencintainya dan mundur untuk memperjuangkan dan lebih memilih diam karena larangan, berarti aku tak benar-benar menginginkannya.”

Dia menyeruput kopinya sebentar, sambil terburu-buru beranjak pergi. Lalu berkata, “Aku akan menikahinya, jika perlu bertaruh nyawa.”


Kopiku mendingin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar